Thursday, December 11, 2008

EKONOMI 1000 RUPIAH


Hari minggu lalu tiba-tiba berkeinginan pergi ke Bogor untuk membeli soto mie Bogor yang tersohor itu. Tidak ada penjual soto mie yang spesifik namun biasanya sang penjual akan berada disekitar toko asinan Gedong Dalem. Terbersit pula untuk mencoba menaiki kereta api dan berangkat melalui stasiun Tebet. Menurut informasi petugas stasiun, kereta rel listrik/KRL yang menuju Bogor lebih cepat untuk menaiki kelas ekonomi.Walaupun hari Minggu, peron stasiun, dipenuhi oleh berbagai jenis calon penumpang dan tentu nya dengan berbagai profesi. Mereka semua sedang menunggu kedatangan kereta listrik berikutnya. Ketika kereta listrik tiba, dengan cepat para calon penumpang ini berlarian mengejar kereta listrik yang sebenar nya sebentar lagi akan berhenti.Kereta listrik hanya berhenti kurang dari 1 menit, namun semua calon penumpang telah menjadi penumpang. Kereta mulai berjalan setelah diumumkan lewat pengeras suara yang suara nya tidak jelas seperti orang berkumur. Nampaknya setiap orang mengerti isi pengumuman karena tidak ada yang tertinggal.Isi penumpang kereta api hampir merupakan miniatur Indonesia. Ada mahasiswa/mahasiswi, ada pelajar yang tidak berseragam, ada tentara, ada ibu rumah tangga pulang dari pasar, ada petugas KUA, ada ustadz yang akan berangkat ke majelis ta’lim, banyak sekali pedagang dan setiap tiga menit gerbong dilewati oleh peminta-minta. Sebagian penumpang yang mendapat tempat duduk berusaha untuk tidur. Apalagi para laki-laki yang didekatnya berdiri seorang manula atau wanita. Ada yang benar-benar tertidur.Pedagang yang berlalu-lalang menjual bermacam-macam barang yang sepenuhnya mendukung berjalan nya ekonomi seribu rupiah. Barang-barang yang diperdagangkan semua berharga Rp 1.000,-. Permen jahe yang dibuat oleh industri rumahan di Sukabumi berisi 10 butir per bungkus. Koran lokal –Radar- maupun nasional –Sindo- Media – dst. per eksemplar. Gambar tempel Sinchan, Transformer, Hello Kitty atau Dora Emon per lembar. Nangka kupas berisi lima butir. Sisir plastik. Penjepit rambut plastik. Karet pengikat rambut aneka warna. Tahu Sumedang berisi 10 butir per bungkus plastik. Buku teka-teki silang yang masih kosong (kalau sudah di isi tidak dijual lagi). Kue gemblong khas Cipanas namun berukuran kecil sebutir. Kue onde-onde 2 butir. Lontong atau mungkin arem-arem kecil sebatang. Rokok yang diketeng batang per batang. Minuman dalam gelas plastik atau botol plastik berharga kelipatan Rp 1.000,-. Komik-komik tipis per eksemplar. Mainan anak-anak dari kertas. Ada tukang buah dengan pikulan membawa buah pisang dan papaya mengingatkan lagu lama – Adi Karso dan Mas Yos El Shinta jadul (‘Pepaya Mangga Pisang Jambu .. Dibawa dari Pasar Minggu .. Disana banyak penjual nya .. Dikota banyak pembeli nya ..) Wahana untuk dagang juga beraneka bentuk. Ada box plastik yang ditumpuk empat dan diberi roda sehingga dapat didorong kemana-mana. Gantungan yang memang diberi tali penggantung sehingga dapat digantungkan pada pipa pemegang yang menempel dilangit-langit kereta. Atau minuman botol dan gelas plastik dalam ember karet hitam dengan pegangan yang dilapisi kain agar lembut. Atau sekedar kotak aqua yang digantungkan dengan tali di leher.Peminta-minta juga bermacam-macam. Gerbong per gerbong dilewati setiap tiga menit oleh peminta-minta yang berbeda. Yang pertama tiba sepasang suami isteri yang sudah tua dan buta. Disusul oleh seorang wanita buta dengan membawa tape dan pengeras suara menyanyikan lagi ‘Termiskin Di Dunia’. Berikutnya seorang laki-laki yang membawa formulir untuk di isi beserta kotak sumbangan bagi pesantren ‘entah dimana’. Seorang wanita bersama seorang anaknya yang yang tidak berkaki namun sang anak nampak nya amat ceria bermain dan ‘merayap’ sepanjang lorong gerbong. Seorang laki-laki yang juga tidak berkaki merayap meminta-minta dengan tangkas disela-sela kaki penumpang dengan membawa kantung kertas. Kembali seorang laki-laki buta berjalan meminta-minta dengan tongkat tanpa tersesat dan lincah melompati bordes. Sekelompok pemuda turut mengamen membawa gitar dan drum kecil dengan sang vokalis membawa maracas menyanyikan lagu ‘Laskar Pelangi’. Suaranya bagus dan kompak tidak fals. Kalau ada produser mungkin tertarik untuk rekaman di studio. Beberapa penumpang menjulurkan tangan memberikan uang kertas seribu rupiah kepada peminta-peminta dan pengamen yang mendukung ‘ekonomi seribu rupiah’.Ada artikel yang menulis tentang tidak berharga nya uang rupiah karena tidak ada lagi uang dengan nominal Rp 1,-. Bahkan uang logam Rp 100,- sudah banyak ditinggalkan. ‘Pak Ogah’ yang sudah ‘ogah’ menerima pecahan logam Rp 100,- tersebut. Dan ada khabar bahwa uang logam Rp 1.000,- lebih berharga dijual sebagai besi yang 1 kg nya pernah berharga Rp 12.000,-.Tiba di Stasiun Bogor dengan lebih kaya pengalaman. Naik ke angkutan umum dan pembayaran lebih banyak dilakukan dengan uang kertas Rp 1.000,- . Seseorang yang membayar dengan mata uang Rp 50.000,- kena marah dari sang sopir karena dianggap sekedar hanya mau menukarkan uang. Sopir hanya memegang lembaran kertas Rp 1.000 saja di tangan nya. Uang logam Rp 500,- hanya digeletak kan di dashboard saja dan terkadang hanya untuk beli minuman gelas plastik seharga Rp 1.000,- saja.Uang kertas Rp 1.000,- memegang peranan yang penting dalam transaksi-transaksi sehari-hari dari warga masyarakat. Sering-sering kita tidak merasakan ini karena mungkin sudah berada di ekonomi lima ribu rupiah (besaran mata uang Rupiah terdekat) atau Rp 10.000, Rp 50.000 namun tidak akan pernah melebihi Rp 100.000,-. Kecuali jika pemerintah bermaksud untuk mencetak mata uang dengan denominasi yang lebih besar. Lembar Rp 1.000.000 misalnya, yang senilai dengan US$100 beberapa bulan yang lalu. Tetapi lebih baik memperbaiki saja nilai mata uang dengan denominasi yang kecil saja. Sulit untuk bertransaksi untuk transaksi beli nasi bungkus seharga ekivalen Rp10.000.000 seperti yang terjadi di Nigeria.Kalau pemerintah bermaksud mengganti mata uang, lebih baik lembaran uang kertas Rp 1.000 saja yang diganti dengan bahan yang lebih kuat dan tahan cuaca. Tidak usah khawatir dipalsukan karena sebenarnya harga kertas dan ongkos cetak nya masih lebih besar dari nilai nominal nya yang Rp 1.000,-


Ini adalah suatu catatan perjalanan teman saya namanya BAMBANG WIDYA SUHARTO, karena presiden kita nama juga disingkat maka KITA teman2nya sepakat menggunakan dan memanggil dengan akronim BWS, nggak ada kaitan dan juga bukan yang mana dari pada klan SOEHARTO yang katanya senyumnya kaya SEMAR(makanya jadi pemegang SUPER SEMAR) begitu ceritanya dan saya sudah yang mana minta ijin walaupun cuma melalui saluran telepon selular.


disadur oleh ZAMKHA pada tgl 11122008